Wirosari – Di tengah pesatnya modernisasi, Jembatan "Kali Brug" di Wirosari, Kabupaten Grobogan, tetap berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan waktu. Bangunan peninggalan kolonial Belanda dengan arsitektur lengkung yang khas ini tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur pengairan, tetapi telah bertransformasi menjadi pusat spiritual dan sosial bagi masyarakat setempat.

​Secara fisik, Kali Brug menampilkan pesona arsitektur Eropa masa lampau yang estetik dan kuat. Namun, bagi warga Wirosari, jembatan ini memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar tumpukan batu dan semen. Lokasi ini menjadi titik temu warisan sejarah dengan kearifan lokal yang masih lestari hingga kini.

​Keberadaan Kali Brug sangat lekat dengan tradisi menyambut bulan suci Ramadan. Menjelang bulan puasa, kawasan di sekitar aliran sungai yang bersumber dari Bendungan Tirto ini akan dipadati warga untuk melakukan serangkaian ritual sosial-spiritual.

​Kegiatan biasanya diawali dengan khataman Al-Qur’an dan doa bersama, sebuah wujud syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suasana kekeluargaan kian terasa saat warga menggelar acara makan bersama di tepian sungai, mempererat tali silaturahmi antarwarga desa.

​Tak hanya itu, tradisi unik kungkum (berendam) di sungai juga menjadi daya tarik tersendiri. Ritual mandi di aliran air Bendungan Tirto ini dipercaya sebagai simbol pembersihan diri, baik jiwa maupun raga, sebelum memasuki bulan suci.

​"Kali Brug bukan sekadar jembatan tua. Ini adalah ruang pertemuan di mana warga merawat ingatan masa lalu sekaligus merayakan kebersamaan untuk masa depan, terutama saat momen sakral seperti penyambutan Ramadan," ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.

​Hingga kini, Kali Brug di Wirosari tetap terjaga eksistensinya, membuktikan bahwa bangunan bersejarah dapat terus hidup berdampingan dengan tradisi yang mengakar di hati masyarakatnya.